Senin, 22 September 2014

MARAHA CERPIN ORANG

Teng… teng… teng
Bel masuk sekolah telah berbunyi, aku segera berlari menuju gerbang pintu masuk.
“Ratna…!” aku terhenti mendengar ada seseorang yang memanggilku.
“Tidak usah lari, masih persiapan apel pagi” ucap seorang laki-laki yang kelihatannya adalah kakak kelasku.
“O… iya, Kakak kok tahu namaku?”
“Haha… kamu lupa ya, aku Budi yang ngajar kamu waktu MOS (Masa Orientasi Siswa) minggu lalu.”
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa setahun sudah aku menimba ilmu di sekolah ini. Gosip menyebar ke sana ke mari bahwa Kak Budi jatuh cinta padaku. Aku begitu marah dengan Kak Budi, aku tidak suka jika dia mencintaiku. Beberapa kali dia mengirim surat untukku, namun tak sekali pun aku membalasnya.
Usahanya untuk mendapatkan hatiku, justru membuatku semakin membencinya. Pada saat itu dia menulis dengan gaya kaligrafi di papan tulis kelasku ‘Ratna aku mencintaimu’, gara-gara tulisan itu teman-teman sekelasku meledekku. Amarahku semakin memuncak, dan rasa benciku semakin mendalam. Bahkan ketika bertemu di jalan pun aku tak sudi menyapanya.
Aku bagai monster yang menakutkan, tapi dia tetap menjadi dirinya yang lembut dan sopan. Menjelang perpisahan sekolahnya, dia memberiku kado yang dibungkus dengan indah. Tapi aku mengembalikannya dengan tanpa kata-kata. Sepucuk surat datang lagi untukku, surat rasa kecewanya dan sakit hatinya karena sikapku. Namun aku tak peduli, aku tetap saja tak bisa menghargai perasaannya karena hatiku terlanjur membencinya.
Setahun bagai ditelan bumi, tak ada kabar dan tak ada lagi salam untukku. Mungkin dia telah lelah dengan sikapku. Tapi ternyata aku salah mengira, dia tidak pernah lelah dengan sikapku, dia tak pernah lelah mencintaiku. Setahun dalam diamnya, karena dia tak ingin mengganggu belajarku, karena aku harus menghadapi ujian kelulusan. Tapi, aku tetap tidak bisa menghargai perasaannya, apalagi membuka pintu hatiku untuknya. Dan mulai lagi dia mengirim surat untukku.
“Dik, tadi malam aku bermimpi, sowan ke tempat Pak Kyai, beliau berpesan padaku untuk mengamalkan Asmaul Husna setiap setelah selesai sholat fardhu”. Aku masih tidak mengerti apa maunya, dan lagi-lagi tidak aku balas surat itu.
Liburan menjelang lebaran Aidhul Fitri telah tiba, aku mendapat tugas piket pada hari raya ke tiga.
“Nduk Ratna!”
“Dalem Bulek” aku segera bergegas menuju rumah bulek istri Pak Kyai.
“Kang Budi meninggal”
“Kang Budi siapa ta Bulek?”
“Kang Budi aliyah (sekolah setara SMA)”
“Innalillahi wa innailaihiroji’un, kapan Bulek dan bagaimana ceritanya?”
“Baru saja ada telefon dari polisi katanya kecelakaan”. Tubuhku seakan lemas tak berdaya mendengar kabar itu. Bahkan dia masih sempat hadir dalam mimpiku, bukan untuk membenciku, namun dia berpesan agar aku menyampaikan kata maafnya kepada teman-teman yang belum sempat dijumpainya. Aku sangat menyesal dengan sikapku, aku sangat menyesal tak menghargai perasaannya dulu, dan aku sangat menyesal menyakiti hatinya waktu itu. Begitu cepatnya dia berlalu meninggalkan waktu, sedang aku belum sempat meminta maaf padanya atas semua kesalahanku.
Orang yang aku benci sudah tiada, orang yang paling menyebalkan tak akan kutemui lagi dalam hidupku, namun aku begitu terluka dengan kepergiannya. Asmaul Husna, kini kujadikan do’a keseharianku. Aku sudah mulai mendengarkan kata-kata dari surat terakhirmu, walau aku terlambat melakukan itu. Maafkan aku, semoga engkau bahagia di alam sana.

KEREA JAR

Bwara Mr. Simple simple…
Lantunan dering handphone bernyanyi nyaring. Membuat siapapun yang mendengarnya akan berdecak kesal saat ini. Tentu saja. Saat ini jam dinding berdentang sebanyak empat kali yang berarti masih sangat pagi untuk membuka mata. Song Jaena, gadis berambut hitam ini berdecak kesal sembari mengucek matanya. Tangannya bergerak menggapai nakas samping tempat tidurnya, dia semakin membulatkan matanya yang sudah bulat saat retinanya menangkap sebuah nama yang tertera disana. Dengan ragu, dia menekan tombol hijau, menjawab panggilan konyol itu.
“Yeoboseyo? Y — Ya!! Ada apa pagi buta begini menelponku, eoh? Aku masih mengantuk!” Jaena sebisa mungkin menutupi rasa gugupnya. Hening. Tak terdengar sebisik suara pun di sebrang sana. ’Bagaimana kau bisa menelponku, Eunhyuk Oppa!’ Jaena membatin.
“Op – oppa? Ada apa denganmu, eoh?”
“eob – eobseo..”
“hah? Kau bercanda? Aku masih mengan – ”
“SARANGHAE JAE NA-YA!! JEONGMAL SARANGHAE!!”
PIP. Sambungan di putuskan. Jae Na tampak melongo di tempat. Apakah benar Eunhyuk mencintainya? Sejak dulu dia memang tak pernah tahu bagaimana perasaan Eunhyuk. Tapi apakah ini balasan dari perasaannya semenjak dua tahun lalu? Kalaupun iya, bagaimana mungkin dia menyatakan perasaannya di pagi buta begini?
Jaena mendesah pelan. Dibaringkannya kembali tubuh mungil berbalut piyama biru muda itu, Jaena menengadah menatap dinding kamar atasnya. “Eunhyuk oppa, aku harap kau serius dengan ucapanmu. Aku tak mau cintaku bertepuk sebelah tangan, monyet babo ku yang tampan!” gumam Jaena pelan sembari menutup matanya, mencoba tidur kembali.

Matanya menerawang menatap hamparan biru yang ditemani arakan awan putih yang mempesona. Sesekali bibirnya menampakkan senyum dua jari. Dia tersenyum geli saat pikirannya kembali melayang pada beberapa tahun lalu, saat Eunhyuk pertama kali menyatakan perasaannya. Dia ingat saat pagi buta itu. Dia ingat suara gugup itu. Dia ingat teriakkan ‘Saranghae’ itu. Memang terdengar konyol sebenarnya, tapi itulah cinta.
Jae Na beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki di antara deretan kokoh pohon sakura. Satu-persatu kelopaknya berjatuhan tepat mengenai kepalanya. Perlahan dia menutup mata menikmati jutaan aroma sakura sejauh mata memandang, menghirup aroma kebahagiaan. Pikirannya kembali menerawang saat Eunhyuk mengajaknya ke taman yang di penuhi guguran bunga sakura seperti saat ini.
Flash Back
“Eunhyuk-ah! Bisa kau jelaskan maksudmu tadi pagi?” ujar Jaena ragu, kepalanya tertunduk menatap pijakan di bawahnya. Dia memelintir ujung rok seragam yang di pakainya, mencoba menetralisir rasa gugup yang didera. Tak sedikit pun ia berani menatap sosok pria di hadapannya. Bagaimana mungkin, sorot matanya yang tajam sarat akan ketegasan membuatnya tak akan berani menatapnya secara langsung, membuat darahnya bergejolak hebat saat dia berada di dekatnya, membuat bibirnya mendadak bisu saat Eunhyuk sekadar mengajaknya berbicara. Membuat jantungnya berdetak tak karuan saat berhadapan dengannya. Pikirannya berkecamuk, entahlah bagaimana bisa jantungnya berdetak berlebihan seperti ini, apakah jika dia bertemu hantu detak jantungnya akan sama seperti ini? ah, Jaena rasa tidak. Dia pernah mengalami hal-hal yang misterius tetapi detak jantungnya tak berlebihan seperti ini. ‘Tuhan, tolong aku’ gumamnya dalam hati. Matanya yang bulat, dia buka lebar-lebar tak percaya saat mendengar hal yang terduga.
“Pagi? Memangnya apa yang aku katakan tadi pagi?”
JEDEEERR!!!
Jaena serasa tersambar petir di siang bolong. Dia tidak menyangka pria itu malah bertanya balik? Ouh, sungguh dia tak mempersiapkan respon apapun jika jawaban Eunhyuk akan seperti ini.
“Bukankah pagi buta kau menelponku? Kau mengucapkan sesuatu yang aku tak mengerti”
“Oh Jinjja? Pagi buta aku menelponmu? Mianhae, aku tak ingat. Mungkin aku mengigau, aku memang sering mengigau sambil menelpon orang, hehe. Jeongmal mianhae kalau aku mengganggu tidurmu tadi pagi!” Eunhyuk mengeluarkan senyum gusi andalannya sambil membuat tanda V dengan jarinya.
“Oh begitu, lalu untuk apa kau mengajakku kesini?” nada bicara Jaena terdengar kecewa.
“Hanya jalan-jalan. Bukankah kita butuh refreshing? Otakku terlalu penuh dengan pelajaran sekolah.” Eunhyuk mendudukkan dirinya di salah satu bangku panjang. Dilihatnya wajah Jaena yang terlihat kecewa. Dia memalingkan wajahnya ke samping dan tersenyum penuh teka-teki.
“Jaena-ya, duduklah! Kau tidak pegal berdiri begitu?” Eunhyuk menepuk-nepukkan tempat duduk di sampingnya.
“Ohk? Tidak terimakasih, ak-aku ingin cepat pulang. An-nyeong!” Jaena melangkah pergi setelah sebelumnya membungkuk berpamitan. Kecewa, sakit! Itulah apa yang dirasakan Jaena sekarang, setelah tadi pagi Eunhyuk membuatnya melayang, apa yang dilakukannya saat ini? dengan wajah tak berdosa dia bilang itu hanya mengigau. Aish, sebenarnya Jaena tahu, itu memang bukan salah Eunhyuk, tapi ini sama saja memainkan perasaannya. Gagal lagi. Sudah beberapa kali Eunhyuk membuat hatinya sakit seperti ini, seharusnya dia berhenti mencintai Eunhyuk, apalagi saat mengetahui dia seorang cassanova.
Sudah tak terhitung berapa kali aliran cairan bening dari matanya, dia tak bisa berhenti menangis sama seperti dia tak bisa berhenti mencintai Eunhyuk. Sesaat Jaena menghentikan langkahnya, dengan sekuat tenaga dia meremas dadanya, sakit dan mendongak ke arah langit “Ya Tuhan, kenapa sesakit ini? aku memang yeoja babo. Aku terlalu mengharapkan Eunhyuk oppa! Tak seharusnya aku seperti ini!” apakah Jaena berlebihan? Entahlah, tapi memang sesakit inilah cinta tak terbalas, apalagi saat kita sudah dibawa terbang melayang, dan pada akhirnya kita di jatuhkan sekeras-kerasnya. Eunhyuk memang tak pernah tahu bagaimana perasaannya, tapi… bisakah? Bisakah kau tak memberiku harapan kosong?
GREPP
Jaena menghentikan tangisnya saat ada sepasang tangan memeluknya dari belakang. Dia mencoba menghapus sisa-sisa air matanya saat sepasang tangan itu membalik tubuh rampingnya dengan sigap. Sepasang mata itu, mata yang selalu dia ingin pandang, memandangnya dengan tatapan lembut tetapi seakan menusuk tajam matanya yang bening.
“Kenapa kau pergi Jaena-ya? Bahkan aku belum selesai bicara!”
“untuk apa kau mengejarku? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?” ujar Jaena ketus.
“Aku ingin memberimu ini!” masih dengan posisi berhadapan dengan tangan kekar Eunhyuk yang masih melingkar di pinggang Jaena. Eunhyuk mendekatkan wajahnya pada Jaena seraya menutup mata. Jaena yang memang tahu apa yang akan dilakukan Eunhyuk, turut menutup mata. Mengikuti permainan Eunhyuk di bibir cerinya.
Beberapa saat kemudian, Eunhyuk menjauhkan wajahnya perlahan dan tersenyum lembut. Di usapnya bibir Jaena dengan ibu jarinya “Ini yang ingin aku berikan padamu, Mianhae, aku mengerjaimu tadi. Aku tidak mengigau, aku sadar sesadar-sadarnya. Maaf aku membuatmu menangis, maaf aku membuatmu terluka dengan perlakuanku, aku memang namja pecundang.”
“Ne, kau memang namja pecundang oppa. Seorang namja sejati tidak mungkin menyakiti hati seorang yeoja, apalagi yeoja lemah sepertiku.” Jaena menundukkan pandangnya. Mencoba menutupi rasa kesal, marah bahkan sakit yang tercurah melalui aliran sungai di pipi mulusnya. Sakit? Marah? Tentu saja. tapi tak ada seorang pun yang tahu bahwa kini, bunga sedang bermekaran di relung hatinya.
“Aku tahu Jaena-ya. Bahkan sangat tahu!” Eunhyuk merasa tak enak hati. Kenapa harus begini akhirnya? Sejujurnya, apa yang dilakukan Eunhyuk itu bukan semata-mata menyakiti Jaena, hanya saja… dia tak ingin terulang untuk kedua kalinya.
“Apa? Memangnya apa yang kau ketahui? kau tidak lebih dari seorang cassanova!” Jaena tak mengerti. Memangnya namja itu mengetahui apa? Mengetahui bahwa dirinya hanyalah yeoja lemah yang mudah dipermainkan? Oh, bagus sekali Casanova jelek.
Euhyuk tertegun. Memandang wajah kacau gadis di hadapannya. Sesakit itu kah? Sebesar itu kah cintamu Jaena-ya? Eunhyuk menarik dagu Jaena agar pandangan mereka bertemu. Disekanya airmata gadis itu dengan ujung jarinya lembut, “Uljima, aku tak mau kau terlihat seperti ini karena aku. Biarkan aku menjelaskan semuanya! Cha … kita duduk di bangku itu saja!”
“Tapi Eunhyuk-ssi …”
“Sudahlah Jaena, bisakah kau dengarkan dulu penjelasanku?” mohon Eunhyuk tegas. Mata tajamnya menghujam mata Jaena. Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang dapat dilakukan Jaena? Memandang matanya saja sudah membuatnya membungkam dan Jaena tahu, terdapat ketulusan disana.
“Sebenarnya, entah mengapa, aku sudah mengetahui perasaanmu dari awal kau menyukaiku dan aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, karena aku pernah mengalami pengalaman buruk dengan seorang yeoja yang aku cintai di masa lalu. Aku takut kejadian itu terulang lagi, Jaena-ya!” Eunhyuk menatap mata bening Jaena lekat. Mencoba mendapatkan kepercayaannya.
“Kau tahu? Dia sudah menyakitiku. Maka dari itu, aku ragu untuk memulainya kembali bersamamu. Aku mencoba mengulur waktu untuk menyatakan perasaanku padamu, dengan cara melihat bagaimana responmu!”
“Respon apa maksudmu?”
“Respon bagaimana jika aku menjadi cassanova. Aku mencoba berpura-pura menjadi seorang cassanova agar mengetahui apakah kau tulus atau tidak!”
“Dan ternyata?”
“Kau diluar dugaanku. hatiku mengatakan kau lebih dari sekedar tulus mencintaiku. Bahkan terkadang aku sering memergokimu menangis karena ku, mianhae, jeongmal mianhae!” Eunhyuk merasa bersalah lagi. Apakah dia salah mengatakannya? Semoga saja tidak. Toh dia sudah jujur sejujurnya. Di genggamnya kedua tangan Jaena dengan tulus. Menyalurkan permintaan maaf yang tergambar dari sinyal hati.
Apakah Jaena memaafkannya? Entahlah tak ada respon apapun darinya. Matanya hanya memandang lurus pada genggaman tangan Eunhyuk. Perlahan dia menganggukkan kepalanya pertanda ada balasan maaf yang tergambar. “Ne, aku tak bisa untuk tidak bisa memaafkanmu, Oppa!” Senyum manis tergambar di wajahnya. Seolah memberikan kekuatan tak terbatas yang hanya dapat di rasakan oleh namja seberuntung Eunhyuk.
Eunhyuk tersenyum lebar dan berterimakasih lewat tatapan matanya. Betapa beruntungnya Eunhyuk jika yeoja ini menjadi kekasihnya. “Gomawo Jaena-ya, baiklah aku rasa ini saat yang tepat. Yeojachinguga doeojulleo? (maukah kau menjadi pacarku?)” ucapnya perlahan dengan posisi berlutut di hadapan Jaena seraya mengeluarkan sebuah mahkota yang terbuat dari rangkaian bunga sakura. Eunhyuk mengulurkan telapak tangan kanannya ke hadapan Jaena setelah sebelumnya dia berdiri dan membiarkan mahkota sakura itu bertengger manis di kepala gadisnya.
“Jaena-ya, kau bisa berdiri dan menaruh tanganmu dalam genggamanku bila kau menerimaku menjadi namjachingumu!” Jaena tersenyum haru. Mengangguk, tangannya terulur menggapai tangan Eunhyuk dan bangkit dengan senyuman manis di wajahnya.
“Gomawo chagia, aku berjanji akan menjaga hatiku untukmu” ucap Eunhyuk lembut dan menarik Jaena ke dalam pelukannya.
Flash Back Off
Satu .. Dua .. Tiga .. bahkan jutaan guguran kelopak sakura yang jatuh di hadapannya. Jae na seolah mengabsen berapakah jumlah sakura yang berjatuhan saat ini, apakah guguran sakura ini sebanding dengan banyaknya mekaran bunga yang bersemi di hatinya kini? Ah, sungguh dia tak ingin menggombal, tapi memang inilah kenyataannya. Kenyataan yang membuatnya serasa layaknya jutaan bunga yang bermekaran setiap saat di relungnya. Namja itu, namja yang selalu mengisi hari-harinya. Namja yang selalu dia pandang pertama kali saat terbangun mengawali hari. Eunhyuk, namja berambut pirang itu kini tampak kelelahan di arah sana. Jae na tak dapat berhenti tertawa saat Eunhyuk terjatuh lagi dan lagi.
DZIIIIIG BRUGGGG!!!
“Aigoo, pinggangku sakit sekali!!” Entah untuk yang ke berapa kalinya Eunhyuk harus bernasib sial. Kepalanya, perutnya, badannya, dan anggota tubuh lainnya harus mendapat perlakuan buruk yang berasal dari tendangan bola. Dia bangkit seraya memegangi pinggangnya yang sakit.
“APPA PAYAH!!!!” teriakkan sengit yang tertangkap telinga Eunhyuk. Ditatapnya tajam seseorang yang tak jauh berdiri di hadapannya.
“YA!! KAN SUDAH APPA BILANG PELAN-PELAN, EOH? AISH PINGGANGKU!!” Teriak Eunhyuk sadis pada anak kecil berumur lima tahun di hadapannya.
“HAHAHAHA, MIANHAE APPA!! AKU LUPA KALAU APPA SUDAH TUA!!” Jae bin, anak namjanya itu tertawa bahagia. Sedangkan Eunhyuk? tangannya masih mengusap-usap pinggangnya yang malang itu. Geram? tentu saja ingin rasanya menjitak anaknya yang nakal itu, sayang umurnya masih lima tahun, sabar Hyuk .. sabar .. inilah cobaan menjadi seorang appa, hiburnya dalam hati. Tetapi nampaknya Eunhyuk tak bisa berlaku sabar, dia bilang apa? Sudah tua? Oh yang benar saja anak nakal!
“MWO? SUDAH TUA KAU BILANG? AISH,!! IGE, TANGKAP BOLANYA!!” Eunhyuk melempar bola yang tadi membuatnya jatuh tersungkur. Dan bingo! Kini bola malang itu tepat sasaran mengenai kepala Jae bin. Haha kena kau Jae bin! batin Eunhyuk. tapi nampaknya keberuntungan sedang tak berpihak pada Eunhyuk, anaknya yang nakal itu malah menangis keras.
“huaaaaaa … Eomma!!! appa jahat eomma!! kepala Jae bin sakit!!”
“Appa!! Apa yang appa lakukan pada Jae bin, eoh?” Jae rin, kembarannya menghampiri Eunhyuk dengan matanya yang bening menatap tajam. “Aish, Appa memang payah! Beraninya pada anak kecil seperti kami, ini rasakan!” Dzigggg—– satu lemparan lagi mengenai kepala Eunhyuk. Pria itu menganga tak percaya, ya ampun bagaimana bisa anak sekecil mereka melakukan diskriminasi pada ayahnya sendiri? setahunya tak ada darah evil mengalir dalam dirinya atau istrinya –Jaena- lalu bagaimana mungkin Eunhyuk dan Jaena memiliki anak se-evil mereka?
Eunhyuk meringis pelan merasakan kepalanya yang berdenyut, tangan kanannya meraba sekitar ubun-ubunnya. “eoh sakit sekali! Sebenarnya mereka itu anak siapa, ish!” gerutunya. “Ya sudah Appa minta maaf, kalian berdua bermain lah berdua! Appa istirahat dulu eoh!” ujar Eunhyuk pada kedua anak kembarnya –Jae bin dan Jae rin-. kemudian Eunhyuk berbalik dan melangkah di tengah hujatan sinar matahari siang yang menyengat. Matanya mengedar ke sekeliling taman mencari objek yang dirindukannya selama beberapa jam ini, berlebihan? Mungkin bisa di bilang iya.
Pria berambut pirang itu tersenyum saat objek yang dicarinya tertangkap oleh matanya. Eunhyuk mengeluh dalam hati, kenapa Jaena terlihat begitu damai dan tenang disana saat dirinya merasakan kesakitan akibat ulah anak mereka? Sungguh tidak adil, pikirnya.
“Chagiyaaaaa… lihat dahiku memar berkat ulah anakmu!” mulai merajuk. Dengan perlahan dia merebahkan kepalanya di pangkuan Jaena. Jaena terkikik geli, mengingat kejadian yang tadi dilihatnya. Dia tak menyadari Eunhyuk merengut sebal di pangkuannya.
“Yak! kau malah tertawa? Jadi kau bahagia melihat dahiku memar-memar seperti ini, eoh?” Eunhyuk menggerutu sebal, tangannya tak berhenti mengelus dahinya yang memar.
“Oppa sayang, tentu saja tidak chagiya, mana mungkin aku tertawa di atas kesedihan suamiku sendiri, eoh? Lagipula kau ini kenapa manja sekali sih?”
“Yak! Memangnya kenapa kalau aku manja padamu? Kau kan istriku, ya sudah sewajarnya!”
“Ya sudah, Oppa! Berhenti cerewet seperti itu! Lama-lama kau jadi seperti yesung oppa, kau tahu?”
“Yakkk! berani-beraninya kau menyamakan aku dengan hyung bawel itu, ish..”
“Baiklah aku minta maaf, sekarang istirahatlah! Oppa terlihat lelah!” ucap Jaena lembut. Eunhyuk mengangguk pelan dan mencoba memejamkan matanya. Jaena tersenyum, tangan lentiknya mengelus rambut pirang Eunhyuk. Matanya memandang wajah Eunhyuk yang di pangkuannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, kulit putihnya. Begitu sosok Eunhyuk sangat berharga baginya. Mata ini, yang selalu memberikan tatapan teduh nan lembutnya. Bibir ini, yang berkali-kali dengan lembut menyentuh kedua daun bibir cerinya. Jaena seolah mengabsen wajah tampan di hadapannya. Begitu wajah ini selalu terpatri dalam pikirannya, dalam hatinya, membuat darahnya berdesir setiap wajah ini memandangnya.
Jaena menghentikan sentuhannya dan mengeluarkan sebuah tissue dari tasnya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajah Eunhyuk. “Kau terlihat kelelahan oppa, Gomawo! Kau telah menjadi Appa yang baik untuk anak-anak kita. Dan juga suami yang terlampau baik untukku” gumam Jaena lirih.
Eunhyuk tersenyum dengan mata yang masih terpejam. Dia tertidur? Jawabannya tidak. Dia hanya sekedar memejamkan mata, merasakan sebuah sentuhan yang membuatnya terhanyut dalam kebahagiaannya. Damai. Begitu damai. Sudah lama dia tak rileks seperti ini. pekerjaannya sebagai presdir di sebuah perusahaan membuatnya sangat sibuk, bahkan untuk sekedar bercengkrama dengan anak dan istrinya. Inilah yang dibutuhkannya. Canda tawa bahkan kejahilan anak-anaknya, sentuhan lembut istrinya yang membuatnya merasakan kebahagiaan tak terbatas, kedamaian yang tiada banding dan menghapuskan segala macam kepenatan yang berputar di otaknya.
Eunhyuk membuka mata. Membuatnya beradu pandang dengan mata Jaena yang bening. Pria itu tersenyum dan bangkit dari posisinya. Meraih tubuh Jaena kedalam dekapannya. Dibelainya rambut panjang hitam bergelombang milik istrinya itu sesekali Eunhyuk mengecup puncak kepala Jaena.
“Saranghae chagiya, gomawo, jeongmal gomawo! Kau memang penyempurna hidupku!” Jaena melepaskan dekapan Eunhyuk dan menggenggam tangan suaminya itu.
“Nado oppa! Kau juga penyempurna hidupku!” Jaena tersenyum manis. Bahkan lebih manis dari biasanya. Di bawah pohon sakura dengan guguran kelopak sakura yang terbang mengiringi ritme angin. Dengan segala rasa yang ada di hati kedua insan itu, mereka mendekat dan memejamkan mata, mencoba menghapus jarak di antara keduanya. Seolah udara pun tak dapat mengisi kekosongan diantara mereka. Kini tak seinchi pun jarak di antaranya.
DUGG!!!
“Aww, Appo! Yak!! Jae bin-ah! Jae rin-ah! Apa yang kalian lakukan, eoh?” untuk yang kedua kalinya Eunhyuk geram pada anak-kembar-evilnya.
“Mianhae appa, bukan kami yang melakukannya! Tapi bola ini!” Jae bin tersenyum jahil sambil menunjuk bola yang berada di genggamannya. Jae rin di sampingnya mengangguk mengiyakan ucapan kembarannya. “Nde Appa! Eomma! bukan kami, tapi bola ini! ya sudah lanjutkan aktivitas kalian Eomma dan appa! kami akan bermain bola lagi!” seru Jae rin dan tersenyum penuh arti.
“Yakk!! anak nakal mengganggu saja, pergi sana!” Eunhyuk mendesis sebal. Di arahkannya pandangannya pada Jaena yang tampak tertunduk malu dengan semburat merah di kedua pipinya. “Chagiyaaa, kenapa wajahmu merah seperti itu? Kajja, kita lanjutkan aktivitas kita yang tadi tertunda!” Eunhyuk tersenyum sambil mengangkat sebelah alisnya jahil.

Beratapkan sakura, aku mengenalmu. Beratapkan sakura ku titipkan hatiku di relung hatimu. Beratapkan sakura aku belajar mencintaimu. Beratapkan sakura telingaku mendengar kata ‘I DO’ dari bibirmu. Dan beratapkan sakura pula, aku bahagia bersamamu. Jaena-ya, my sakura! Izinkan aku menjadi sebuah payung yang dapat melindungimu kapanpun dan dimanapun. Aku akan menjadi kidung penenang yang tak akan beranjak dari sisimu hingga ajal yang merenggut perjalanan kita yang berpacu waktu di dunia.
Song Jae Na, aniya Lee Jae Na aku selamanya milikmu dan kau selamanya milikku.

TUHAN BERIKAN KU SEDIKIT WAKTU

Di sebuah Desa terdapat sebuah keluarga yang hidup miskin. Karena sedikitnya gaji yang diterima sang suami, Mereka selalu berhutang dan telat membayar pajak maupun Kos-kosan. Suatu hari karena mereka belum membayar Kos, Pemilik Kos dengan marah mengusir keluarga tersebut. Mereka hanya bisa pasrah.
Dan akhirnya mereka menemukan sebuah tempat tinggal yang baru, rumah bekas yang masih layak dihuni. Karena uang yang dikantonginya hanya kisaran Rp 20.000,-. Sang suami pun pergi untuk bekerja menjadi kuli, karena langsung dibayar. Truk yang ia tumpangi tersebut akan berangkat ke Kalimantan, padahal ia meninggalkan seorang Istri dan Anaknya di Jakarta.
Karena sang istri tampak sudah lapar untuk menunggu sang suami yang akan membawa makanan, Sang istri pun langsung pergi dan membawa anaknya ke warung untuk makan dan untunglah masih ada sedikit uang yang dibawanya.
Karena sudah berhari-hari suaminya tidak pulang-pulang, Ia memutuskan untuk Mencari kerja sendiri di salah satu restoran ternama di kota. Dia bekerja sebagai pencuci piring. Setiap hari ia mengajak putrinya karena takut diculik orang dan untunglah sang manager restoran tersebut tidak menolaknya asalkan tidak mengganggu.
Pada suatu hari, karena ia merasa anaknya sudah cukup umur untuk tahu mana yang jelek dan baik, ia meninggalkan putrinya di rumah untuk sekedar membeli nasi di warung sebelah. Seorang seperti penjahat masuk ke dalam rumahnya. Penjahat itu pun membawa Balita itu dan kemudian dijual dengan diiming-iming sesuatu yang membuatnya tertarik. Sang Balita itu dijual kepada Orang kaya sepasang suami Istri berprofesi sebagai Pejabat dan Dokter yang belum juga mempunyai seorang anak.
Karena Ibu dari Balita itu sangat kesepian. Maka ia memutuskan untuk menyusul suaminya ke Kalimantan. Dan kebetulan Balitanya juga diculik dan dibawa ke Kalimantan.
Balita itu kemudian diberi nama Azzahra Salsabila atau dipanggilnya Salsa, Sesuai nama Anak sang suami dulunya. Salsa tumbuh sebagai anak yang Cantik, Baik dan Cerdas. Dia pun hampir menyelesaikan Study nya di London. Dia ingin meneruskan pekerjaan bundanya sebagai Dokter. Dan ketika ia pulang dari London, Ia ingin segera menikah dan mempunyai anak.
Beberapa bulan setelah menikah, Bunda Salsa Meninggal dunia. Suatu hari Ayah Salsa ingin mengatakan sesuatu. “Salsa, Ayah ingin mengatakan sesuatu nak!” Lembut ayahnya. “Iya Yah, silahkan.” Jawab Salsa. “Tapi kamu harus janji, kalau Ayah sudah katakan Kamu nggak boleh Nangis!” Ucap Ayahnya. Salsa hanya termenung dan berkata “Iya Yah. Insya Allah!”. Sambil menahan sedih Ayah Salsa Berkata. “Nak, sebenarnya kamu itu anak angkat Ayah, Bukan Anak Kandung Ayah. Tapi Kenapa Ayah merasa kamu itu adalah anak kandung Ayah.” Salsa pun hanya membendung tangisnya. “Ya mungkin karena Ayah sangat sayang sama Salsa”.
Tiba-tiba terdengar suara bel pintu. “Sebentar Yah” Kata Salsa. Terlihatnya seorang nenek yang ingin minta sedekah. “Non, boleh minta sedekahnya?” Tanya sang nenek. “Oh, iya nek! Sebentar!” Jawab Salsa. “Ini ada sedikit uang buat nenek.” Kata Salsa sambil memberikan uangnya. “Terima kasih Nak!, Semoga Allah menghilangkan kesedihanmu! Oh iya nak, kok wajah kamu seperti anak nenek ya?” Tanya Sang nenek. “Ah, itu mungkin firasat nenek saja!” tolak Salsa. Dan Nenek itu pun pergi dengan rasa heran.
“Siapa nak?” Tanya Ayahnya. “Pengemis Yah!” Jawab Salsa. Ketika Salsa menghadap membelakangi Ayahnya, Ayah Salsa kaget, Karena Salsa mempunyai tanda lahir di bawah leher yang dipunyai anaknya dulu. “Salsa?” panggil ayahnya. “Kenapa Yah? Heran Salsa. Ayahnya pun memeluk erat Anak kandung yang dikiranya hanya anak angkatnya. “Kamu benar-benar anak kandung Ayah Nak!”
Kata sang Ayah. Salsa pun hanya kaget, karena Ayahnya yang baru mengatakan bahwa ia hanya sebatas anak angkat berubah menjadi anak kandung. Tiba-tiba dia berperasaan kaget dan sakit sampai-sampai ia menumpahkan teh Hangat yang dibawanya. “Kenapa Nak?” Tanya Ayahnya. Dan tiba-tiba juga ada bel pintu depan. Ketika dibukanya Salsa pintu itu ada seorang perempuan yang berkata “Nak, boleh pinjam telepon rumahnya? Diluar ada seorang nenek pengemis tertabrak Truk.” Kata perempuan itu . “Nenek tadi?” heran Salsa. “Ada apa lagi nak?” Tanya Ayahnya. “Nenek tadi tertabrak Yah!” Teriak Salsa. “Ayo kita kesana!” Kata Sang Ayah sambil berlari. “Ibu silahkan hubungi polisi! Teleponnya ada disitu!” Kata Salsa sambil menunjukkan tempatnya.
Ketika Ayah Salsa melihatnya sang nenek, ia kaget, karena pengemis itu adalah Istrinya yang dulu ditinggalnya di Jakarta. “Salsa! Salsa ini Ibumu Nak!” kata Ayahnya. Salsa hanya termenung atas semua ini. Ia pun menyusul Ibunya ke Rumah Sakit bersama Ayahnya. Di dalam mobil, Ayahnya menjelaskan cerita ketika dulu Ayahnya meninggalkan Salsa dan Ibunya di Jakarta dan sampai saat ini.
Ketika Dokter boleh mempersilahkan masuk keluarganya, Salsa masuk bersama Ayahnya. Ia pun mengecup kening Ibunya, dan berkata “Ibu’, maafin Aku belum bisa bahagiain Ibu! Sekarang kita berkumpul kembali! Ada Ibu, Salsa dan Ayah!” Kata Salsa sambil tersenyum. Mereka hanya tersenyum mendengar kata-kata Anak manisnya itu. Ibunya pun menjawab “Kamu sekarang sudah besar Nak, sudah punya suami dan akan menimang bayi. Jaga Baik diri kamu ya sayang ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu”. Tiba-tiba terdengar suara bunyi HP Salsa. Rupanya suami Salsa yang menelfon, ia akan menyusul Salsa ke Rumah Sakit.
Dan hampir saja suami Salsa, Farhan datang Ibu Salsa sudah meninggal duluan. Mereka pun hanya bersedih hati dan tepaksa harus membuang jauh-jauh keinginannya untuk Berkumpul bersama lagi. Ia menyesal dengan hidupnya karena Tuhan Hanya Memberikannya Sedikit Waktu Untuk Bersama Ibu Kandungnya Sendiri. Tetapi dia beruntung mempunyai suami, Ayah, dan Anak yang selalu setia menemaninya.