Senin, 22 September 2014

MARAHA CERPIN ORANG

Teng… teng… teng
Bel masuk sekolah telah berbunyi, aku segera berlari menuju gerbang pintu masuk.
“Ratna…!” aku terhenti mendengar ada seseorang yang memanggilku.
“Tidak usah lari, masih persiapan apel pagi” ucap seorang laki-laki yang kelihatannya adalah kakak kelasku.
“O… iya, Kakak kok tahu namaku?”
“Haha… kamu lupa ya, aku Budi yang ngajar kamu waktu MOS (Masa Orientasi Siswa) minggu lalu.”
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa setahun sudah aku menimba ilmu di sekolah ini. Gosip menyebar ke sana ke mari bahwa Kak Budi jatuh cinta padaku. Aku begitu marah dengan Kak Budi, aku tidak suka jika dia mencintaiku. Beberapa kali dia mengirim surat untukku, namun tak sekali pun aku membalasnya.
Usahanya untuk mendapatkan hatiku, justru membuatku semakin membencinya. Pada saat itu dia menulis dengan gaya kaligrafi di papan tulis kelasku ‘Ratna aku mencintaimu’, gara-gara tulisan itu teman-teman sekelasku meledekku. Amarahku semakin memuncak, dan rasa benciku semakin mendalam. Bahkan ketika bertemu di jalan pun aku tak sudi menyapanya.
Aku bagai monster yang menakutkan, tapi dia tetap menjadi dirinya yang lembut dan sopan. Menjelang perpisahan sekolahnya, dia memberiku kado yang dibungkus dengan indah. Tapi aku mengembalikannya dengan tanpa kata-kata. Sepucuk surat datang lagi untukku, surat rasa kecewanya dan sakit hatinya karena sikapku. Namun aku tak peduli, aku tetap saja tak bisa menghargai perasaannya karena hatiku terlanjur membencinya.
Setahun bagai ditelan bumi, tak ada kabar dan tak ada lagi salam untukku. Mungkin dia telah lelah dengan sikapku. Tapi ternyata aku salah mengira, dia tidak pernah lelah dengan sikapku, dia tak pernah lelah mencintaiku. Setahun dalam diamnya, karena dia tak ingin mengganggu belajarku, karena aku harus menghadapi ujian kelulusan. Tapi, aku tetap tidak bisa menghargai perasaannya, apalagi membuka pintu hatiku untuknya. Dan mulai lagi dia mengirim surat untukku.
“Dik, tadi malam aku bermimpi, sowan ke tempat Pak Kyai, beliau berpesan padaku untuk mengamalkan Asmaul Husna setiap setelah selesai sholat fardhu”. Aku masih tidak mengerti apa maunya, dan lagi-lagi tidak aku balas surat itu.
Liburan menjelang lebaran Aidhul Fitri telah tiba, aku mendapat tugas piket pada hari raya ke tiga.
“Nduk Ratna!”
“Dalem Bulek” aku segera bergegas menuju rumah bulek istri Pak Kyai.
“Kang Budi meninggal”
“Kang Budi siapa ta Bulek?”
“Kang Budi aliyah (sekolah setara SMA)”
“Innalillahi wa innailaihiroji’un, kapan Bulek dan bagaimana ceritanya?”
“Baru saja ada telefon dari polisi katanya kecelakaan”. Tubuhku seakan lemas tak berdaya mendengar kabar itu. Bahkan dia masih sempat hadir dalam mimpiku, bukan untuk membenciku, namun dia berpesan agar aku menyampaikan kata maafnya kepada teman-teman yang belum sempat dijumpainya. Aku sangat menyesal dengan sikapku, aku sangat menyesal tak menghargai perasaannya dulu, dan aku sangat menyesal menyakiti hatinya waktu itu. Begitu cepatnya dia berlalu meninggalkan waktu, sedang aku belum sempat meminta maaf padanya atas semua kesalahanku.
Orang yang aku benci sudah tiada, orang yang paling menyebalkan tak akan kutemui lagi dalam hidupku, namun aku begitu terluka dengan kepergiannya. Asmaul Husna, kini kujadikan do’a keseharianku. Aku sudah mulai mendengarkan kata-kata dari surat terakhirmu, walau aku terlambat melakukan itu. Maafkan aku, semoga engkau bahagia di alam sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar